Kajian Teoretis Konsep Praktik Kefarmasian di Indonesia

GudangIlmuFarmasi -Kajian teoretis ini berisi tinjauan kepustakaan mengenai bagaimana konsep praktik kefarmasian, fasilitas kefarmasian, sumberdaya manusia kefarmasian, pendidikan kefarmasian, registrasi dan perizinan praktik sumber daya manusia kefarmasian di Indonesia.

Daftar Isi

A. Praktik Kefarmasian

Praktik Kefarmasian memiliki peran strategis dalam sistem kesehatan di Indonesia. Peran strategis praktik kefarmasian itu tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional, dimana sebagai salah satu subsistem dalam Sistem Kesehatan Nasional, dengan melakukan praktik kefarmasian yang benar diharapkan dapat menjamin: aspek keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; penggunaan obat yang rasional; serta upaya kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumber daya dalam negeri.

Praktik Kefarmasian secara definisi tercantum dalam pasal 108 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Praktik Kefarmasian yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108 seperti diutarakan diatas, secara garis besar mencakup dalam 4 (empat) kelompok area wilayah praktik kefarmasian oleh apoteker, yaitu:

1. Praktik produksi sediaan farmasi

Praktik produksi sediaan farmasi meliputi praktik pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi.

2. Praktik pengelolaan sediaan farmasi

Praktik pengelolaan perbekalan farmasi meliputi praktik pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian sediaan farmasi

3. Praktik pelayanan kefarmasian

Praktik pelayanan kefarmasian merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien, meliputi praktik pelayanan obat berdasarkan resep dan pelayanan informasi obat.

4. Praktik penelitian dan pengembangan sediaan farmasi

Praktik penelitian dan pengembangan sediaan farmasi meliputi praktik penelitian pengembangan sediaan farmasi.

Objek yang menjadi kewenangan apoteker dalam melaksanakan praktik kefarmasian adalah pelayanan kesehatan yang terkait dengan sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 1 ayat 8 dan 9, Obat didefiniskan sebagai bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. Sedangkan Obat tradisional disefinisikan sebagai bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk. 00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia pasal 1 ayat 2, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan atau memperbaiki bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

Dalam satu dekade terakhir, pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) adalah jenis praktik kefarmasian yang paling pesat perkembangannya jika dibandingkan dengan praktik produksi dan praktik pendistribusian sediaan farmasi. Hal ini, ditandai dengan munculnya jenis pelayanan farmasi klinik sebagai jenis pelayanan baru dari pelayanan kefarmasian yang sudah ada yaitu pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat.

Menurut Dr. apt. Widyati M.Clin.Pharm dalam bukunya yang berjudul Praktik Farmasi Klinik yang ditebitkan tahun 2019, pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) merupakan model praktek apoteker yang diciptakan karena kebutuhan untuk bisa mengkuantifikasi pelayanan farmasi klinik yang diberikan, sehingga peran apoteker dalam pelayanan kefarmasian kepada pasien dapat terukur. Pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care) didefinisikan pertama kali oleh Prof. Linda Strand sebagai “Responsible provision of drug therapy for the purpose of achieving definite outcomes that improve a patient’s quality of life”. Dari definisi ini terkandung pengertian:

  1. Bahwa apoteker memiliki tanggungjawab kepada pasien secara langsung
  2. Bahwa tujuan pengobatan jelas dan dapat dinilai
  3. Bahwa outcome yang ingin dicapai tidak hanya kesembuhan tetapi lebih dari itu, yakni meningkatkan kualitas hidup pasien.

Dalam pernyataan yang lain, Prof. Linda Strand menyatakan bahwa pelayanan kefarmasian merupakan “Component of pharmacy practice which entails the direct interaction of pharmacist with the patient for the purpose of caring for the patient’s drug-related needs”. Berdasarkan penjelasan ini, terkandung pula bahwa dalam pelayanan kefarmasian seorang apoteker praktisi farmasi klinik menentukan kebutuhan pasien sesuai dengan kondisi penyakit dan membuat komitmen untuk meneruskan pelayanan setelah dimulai secara berkesinambungan.

Di Indonesia, istilah pelayanan farmasi klinik dalam regulasi pertamakali digunakan pada tahun 2014 dalam peraturan menteri kesehatan nomor 73, 74 dan 76 tahun 2016 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas dan rumah sakit. Pada tahun 2021, istilah pelayanan farmasi klinik kembali dinyatak dalam regulasi dengan hirearki peraturan perundangan yang lebih tinggi yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.

Adapun kegiatan pelayanan farmasi klinik yang telah resmi diatur dalam regulasi teknis pelaksana di Indonesia saat ini selain pengakajian dan pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi obat yang telah lebih dulu diatur dalam definisi praktik kefarmasian dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108, meliputi:

  • Penelusuran riwayat penggunaan Obat,

Penelusuran riwayat penggunaan Obat adalah proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien. 

  • Rekonsiliasi Obat, 

Rekonsiliasi Obat adalah proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien.

  • Konseling,

Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya

  • Visite,

Visite adalah kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.

  • Pemantauan Terapi Obat (PTO),

Pemantauan Terapi Obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.

  • Monitoring Efek Samping Obat (MESO),

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) adalah kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi.

  • Evaluasi Penggunaan Obat (EPO),

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) adalah program evaluasi penggunaan Obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.

  • Dispensing sediaan steril
  • Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD).

Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) adalah interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.

  1. Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home pharmacy care);

Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home care pharmacy) adalah pelayanan kefarmasian oleh apoteker secara mandiri kepada pasien/klien dengan cara mendatanginya ke rumah.

Selain kegiatan pelayanan farmasi klinik diatas, di Indonesia juga melakukan Pelayanan Swamedikasi. Pelayanan Swamedikasi adalah pelayanan farmasi klinik secara mandiri menggunakan sediaan farmasi yang berdasarkan peraturanperundangan dapat diserahkan oleh apoteker tanpa resep untuk penanganan gangguan ringan (Responding to symtoms) dan terdokumentasi dalam catatan pengobatan pasien.

Kegiatan pelayanan farmasi klinik dan pelayanan swamedikasi seperti di uraikan diatas, walau sudah diatur dalam regulasi teknis pelaksanaan, namun belum secara resmi masuk dalam definisi praktik kefarmasian di Indonesia. Sehingga belum diakui secara formal sebagai bagian dari kewenangan professional seorang apoteker di Indonesia.

Ternyata praktik kefarmasian di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi kesehatan manusia saja, tetapi juga diperuntukkan bagi kesehatan veteriner dengan melayani resep dokter hewan yang berupa obat hewan dalam kategori obat keras sebagaimana diamanatkan dalam pasal 51 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Lebih jauh pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Otoritas Veteriner pada pasal 35 pasal 4 huruf e menyebutkan bahwa Tenaga paramedik veteriner salah satunya adalah tenaga yang memiliki kompetensi teknis di bidang farmasi veteriner. Pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk kesehatan hewan dikenal dengan istilah pelayanan farmasi veteriner.

Pelayanan farmasi veteriner secara akademik bukanlah sesuatu yang baru bagi para apoteker. Hal ini dapat terlihat dalam buku-buku referensi pendidikan apoteker di Indonesia, diantaranya adalah buku dengan judul Pharmaceutical Calculations: The Pharmacist’s Handbooks karya Howard C. Ansel dan Shelly J. Price yang dialih bahasakan menjadi Kalkulasi Farmasetik Panduan Untuk Apoteker yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kedokteran EGC pada tahun 2004, di dalam salah satu babnya membahas tentang pengaturan dosis veteriner.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 Tentang Klasifikasi Obat Hewan, Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmasetik, premiks, dan sediaan alami.

  • Sediaan Biologik,

Sediaan Biologik adalah Obat Hewan yang dihasilkan melalui proses biologik pada Hewan atau jaringan Hewan untuk menimbulkan kekebalan, mendiagnosis suatu penyakit atau menyembuhkan penyakit melalui proses imunologik, antara lain berupa vaksin, sera (antisera), hasil rekayasa genetika, dan bahan diagnostika biologik.

  • Farmasetik,

Farmasetik adalah Obat Hewan yang dihasilkan melalui proses nonbiologik, antara lain vitamin, hormon, enzim, antibiotik, dan kemoterapetik lainnya, antihistamin, antipiretik, dan anestetik yang dipakai berdasarkan daya kerja farmakologi.

  • Premiks,

Premiks adalah sediaan yang mengandung bahan obat hewan yang dioleh menjadi imbuhan pakan (Feed Additive) atau pelengkap pakan (Feed Supplement) hewan yang pemberiannya dicampurkan ke dalam pakan atau air minum hewan yang dalam dosis dan penggunaanya harus bermutu, aman dan berkhasiat.

  • Obat Alami

Obat Alami adalah bahan atau ramuan bahan alami yang berupa bahan tumbuhan, bahan Hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut yang digunakan sebagai Obat Hewan.

Baca :  Rancangan Regulasi Pelayanan Kefarmasian secara Elektronik (e-Farmasi) di Indonesia

Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya, obat hewan diklasifikasikan menjadi :

  • Obat Keras,

Obat Keras adalah Obat Hewan yang jika pemberiannya tidak sesuai dengan ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi Hewan dan/atau manusia yang mengonsumsi produk Hewan tersebut. Obat Hewan yang diberikan secara parenteral diklasifikasikan sebagai Obat Keras. Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau pengobatan hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan. Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh dokter hewan atau tenaga kesehatan hewan di bawah pengawasan dokter hewan.

  • Obat Bebas Terbatas,

Obat Bebas Terbatas adalah Obat Keras untuk Hewan yang diberlakukan sebagai Obat Bebas untuk jenis Hewan tertentu dengan ketentuan disediakan dalam jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan dan cara pemberian tertentu serta diberi tanda peringatan khusus.

  • Obat Bebas

Obat Bebas adalah Obat Hewan yang dapat dipakai secara bebas oleh setiap orang pada Hewan.

Menimbang uraian diatas tentang praktik kefarmasian di Indonesia saat ini, sudah seharusnya Negara memberikan ruang untuk menambahkan pelayanan kefarmasian klinik, pelayanan swamedikasi dan pelayanan kefarmasian veteriner kedalam definisi resmi praktik kefarmasian dalam suatu undang-undang praktik kefarmasian.

Konsep Praktik kefarmasisan secara ideal dan menyeluruh baik klinik maupun veteriner di Indonesia  seperti yang dijelaskan diatas, jika digambarkan dalam terlihat seperti bagan di gambar 1, berikut:

Gambar.1 Konsep Praktik Kefarmasian

B. Fasilitas Kefarmasian

Praktik kefarmasian ini dilakukan oleh seorang apoteker di fasilitas kefarmasian. Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi, fasilitas kefarmasian yang ada di Indonesia meliputi Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi, Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi dan Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

  • Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi,

Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi merupakan sarana yang digunakan untuk memproduksi obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. Jenis praktik kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi fasilitas adalah praktik produksi sediaan farmasi, pengelolaan perbekalan farmasi, penelitian dan pengembangan sediaan farmasi dalam rangka memproduksi sediaan farmasi.

Fasilitas produksi sediaan farmasi berupa industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional, pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan.

  • Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi

Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan Farmasi.

Jenis praktik kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi antaralain adalah praktik pengelolaan perbekalan farmasi dalam rangka pendistribusian perbekalan farmasi kepada fasilitas kefarmasian lainnya.

  • Fasilitas Pelayanan Kefarmasian.

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.

Jenis praktik kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian antaralain adalah praktik produksi sediaan farmasi secara terbatas, pengelolaan perbekalan farmasi dan pelayanan kefarmasian dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien/klien.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan, maka Fasilitas Pelayanan Kefarmasian terdiri dari apotek, instalasi farmasi rumah sakit, puskesmas, klinik.

Dalam regulasi yang ada belum memasukkan Fasilitas Penelitian Dan Pengembangan Sediaan Farmasi yang merupakan fasilitas atau tempat apoteker melakukan praktik riset dan pengembangan sediaan farmasi. Fasilitas riset dan pengembangan sediaan farmasi ini ada yang terafiliasi dengan institusi penyelenggara pendidikan kefarmasian maupun yang tidak terafiliasi institusi penyelenggara pendidikan kefarmasian.

Terkait dengan farmasi veteriner, pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko pada pasal pasal 246 ayat f angka 6 memunculkan istilah APOTEK VETERINER sebagai salah satu kegiatan usaha subsektor peternakan dan kesehatan hewan dengan analisa resiko yang melakukan kegiatan utamanya pembelian dan penjualan obat hewan.

Dari pencarian informasi, didapatkan informasi bahwa APOTEK VETERINER pertama di Indonesia di klaim didirikan oleh Universitas Gadjah Mada Jojakarta yang diremikan pada tanggal 6 desember 2018 yang berlangsung di Rumah Sakit Hewan Prof. Soeparwi UGM.

Menurut Dr. drh. Agustina Dwi Wijayanti, M.P selaku Kepala Departemen Farmakologi, latar belakang pendirian APOTEK veteriner salah satunya perlunya pengawasan dan kontrol penggunaan obat hewan, penjaminan keamanan serta ketersediaan obat hewan yang baik, dan perlunya solusi pelayanan resep dokter hewan,  Praktek pelayanan dan penggunaan obat hewan yang tepat dan rasional dapat menghindari praktek penggunaan obat ekstra label dan merupakan salah satu usaha mengatasi resistensi antimikroba dan  residu obat hewan dalam produk pangan asal hewan (https://fkh.ugm.ac.id/2019/12/0814/).

Selain apotek veteriner, apoteker dapat melakukan praktek pelayanan farmasi veteriner pada unit pelayanan Kesehatan Hewan yang terdiri atas :

  1. Ambulatori, Ambulatori dapat berupa pelayanan klinik Hewan ketiling dan/atau pelayanan jasa laboratorium.
  2. Klinik Hewan,
  3. Pusat Kesehatan Hewan,
  4. Rumah Sakit Hewan

Pengelompokkan fasilitas kefarmasian seperti yang dijelaskan diatas, jika digambarkan dalam terlihat seperti bagan di gambar 2, berikut:

Gambar.2 Fasilitas Kefarmasian

C. Sumberdaya Manusia Kefarmasian

Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 11 ayat 6, Jenis Tenaga Kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian terdiri atas apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK). Dimana hal ini juga sejalan dengan penggunaan pedoman ISCO-08 oleh WHO sebagai dasar pengelompokkan tenaga kesehatan yang digunakan dalam laporan internasional WHO.

Pada ISCO-08 para profesional di bidang kesehatan dikelompokkan menjadi dokter yang terdiri dari dokter umum dan dokter spesialis, profesional perawat dan bidan yang terdiri dari profesi perawat dan profesi bidan, profesional pengobatan tradisional dan komplementer, praktisi paramedis, dokter hewan, dan jenis profesional kesehatan lainnya seperti dokter gigi, apoteker, dan profesional kesehatan dan keselamatan kerja, profesional kesehatan lingkungan, fisioterapis, dietisien dan nutrisionis, audiologis dan terapi wicara, optometris dan refraksionis optisien dan para profesional di bidang kesehatan lain yang tidak masuk kategori di atas. Selain tenaga medis, dikelompokkan juga para penunjang profesional di bidang kesehatan seperti teknisi medis dan teknisi farmasi, profesional penunjang perawat dan bidan, profesional pengobatan tradisional dan komplementer, teknisi dan asisten dokter hewan, jenis profesional penunjang lainnya.

Apoteker

apoteker di Indonesia saat ini terdiri dari apoteker dan apoteker spesialis

  • apoteker

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, maka dapat dirangkum bahwa ketentuan terkait apoteker dalam peraturan perundangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi dan Pendidikan Profesi Apoteker (PPA),
  2. Telah lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi apoteker yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi,
  3. Telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker
  4. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA)
  5. Memiliki kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian berdasarkan Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA).

Sehingga ditarik kesimpulan bahwa apoteker dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.

  • apoteker spesialis

Saat ini di Indonesia baru memiliki 1 (satu) apoteker spesialis, yaitu apoteker Spesialis Farmasi Nuklir yang baru dikukuhkan pada tanggal 30 September 2020 (https://farmasetika.com/2020/09/29/menkes-akan-hadiri-pengukuhan-apoteker-spesialis-farmasi-nuklir/ ).Merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, maka dapat dirangkum bahwa ketentuan terkait apoteker dalam peraturan perundangan di Indonesia adalah sebagai berikut:

  1. Seseorang apoteker yang telah menyelesaikan Pendidikan Profesi Apoteker Spesialis (PPAS),
  2. Telah lulus Uji Kompetensi apoteker spesialis dengan memperoleh Sertifikat profesi apoteker spesialis yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi,
  3. Telah dikukuhkan sebagai apoteker spesialis
  4. Memiliki Surat Tanda Registrasi apoteker Spesialis (STRASp)
  5. Memiliki kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian dengan kekhususan tertentu (spesialis) pada fasilitas kefarmasian berdasarkan Surat Izin Praktek apoteker Spesialis (SIPASp).

Sehingga ditarik kesimpulan bahwa apoteker spesialis dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker spesialis, lulus Uji Kompetensi apoteker spesialis dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah dikukuhkan sebagai apoteker spesialis serta memiliki surat tanda registrasi apoteker spsialis (STRASp) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian dengan kekhususan tertentu (spesialis) pada fasilitas kefarmasian.

Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Praktik Kefarmasian. Berdasarkan jenis program studi yang tersedia saat ini di Indonesia untuk tenaga kefarmasian setingkat diploma III (D3), maka Tenaga Teknis Kefarmasian terdiri dari 2 kelompok professional tenaga kefarmasian secara akademik memiliki kompetensi professional yang berbeda yaitu Ahli Madya Farmasi (teknisi farmasi) dan Ahli Madya Analis Farmasi dan Makanan (analis farmasi).

  • Ahli madya farmasi (teknisi farmasi)

Ahli madya farmasi atau teknisi farmasi adalah seorang lulusan Pendidikan Diploma III Farmasi. Merujuk pada Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Farmasi yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian kesehatan tahun 2016, ahli madya farmasi memiliki kompetensi, sebagai berikut:

  1. Mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai aspek legal yang berlaku sesuai standar operasional di sarana pelayanan kesehatan.
  2. Mampu melakukan produksi sediaan farmasi mengacu pada Cara Pembuatan Obat dan Obat Tradisional yang Baik yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
  3. Mampu melakukan pendistribusian sediaan Farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai mengacu pada standar yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
  4. Mampu membantu pelaksanaan penelitian di bidang kefarmasian
  • Ahli Madya Analis Farmasi dan Makanan (Analis farmasi)

Analis farmasi atau Ahli Madya Analis Farmasi dan Makanan adalah seorang lulusan Pendidikan Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan. Merujuk pada Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian kesehatan tahun 2016, ahli madya farmasi memiliki kompetensi, sebagai berikut:

  1. Mempunyai kemampuan dalam melakukan pengelolaan bahan dan peralatan laboratorium farmasi dan makanan.
  2. Mempunyai kemampuan dalam melakukan analisis sediaan farmasi dan makanan.
  3. Mempunyai kemampuan dalam melakukan verifikasi kesesuaian proses pemeriksaan dengan Standard Operating Procedure (SOP).
  4. Mempunyai kemampuan dalam membantu proses penelitian dasar maupun terapan di laboratorium bidang farmasi dan makanan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya seorangcalon Tenaga Teknis Kefarmasian baik ahli madya farmasi atau analis farmasi, harus lulus Uji Kompetensi Tenaga Teknis Kefarmasian dan memperoleh Sertifikat Kompetensi Tenaga Teknis Kefarmasian yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, untuk kemudian digunakan sebagai syarat pengurusan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) dan Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian (SIPTTK). Penggunaan istilah atau sebutan yang sama untuk ahli madya farmasi dan analis farmasi sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian, padahal sesungguhnya 2 (dua) professional tenaga kefarmasian ini secara akademik memiliki kompetensi professional yang berbeda seperti diuraikan diatas, berpotensi untuk mengaburkan batas-batas kompetensi professional antara ahli madya farmasi dan analis farmasi.

Baca :  Apoteker Harus Tahu Interaksi Obat Diabetes yang Harus Dihindari

Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi, Sarjana Farmasi dimasukkan dalam kelompok Tenaga Teknis Kefarmasian, namun hal ini malah tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Hal ini karena Sarjana farmasi merupakan jenis pendidikan tinggi dalam kelompok pendidikan akademik. Berdasarkan pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, Pendidikan akademik merupakan Pendidikan Tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Sehingga secara akademik sarjana farmasi tidak memiliki kompetensi professional sebagai tenaga kesehatan. Berdasarkan penjelasan pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, pendidikan yang menyiapkan Mahasiswa menjadi profesional dengan keterampilan/kemampuan kerja tinggi adalah kelompok pendidikan vokasi. Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan.

Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan pasal 65 ayat 2 dan 3; dan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 108 ayat 1, dapat ditarik kesimpulan bahwa Tenaga Teknis Kefarmasian pada prinsipnya TIDAK BERWENANG melakukan praktik kefarmasian sebelum mendapatkan limpahan kewenangan dari seorang apoteker.

Selain tenaga kesehatan, sumber daya manusia kefarmasian juga meliputi asisten tenaga kefarmasian yang diatur dalam Peraturan Menteri kesehatan Nomor 80 Tahun 2016, tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga Kesehatan.

Asisten tenaga kefarmasian ini memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan bidang kesehatan dibawah jenjang Diploma Tiga (D3) atau lulusan pendidikan menengah farmasi. Dalam melaksanakan pekerjaannya, asisten tenaga kefarmasian tidak memerlukan registrasi dan surat izin namun wajib mengikuti uji kompetensi setelah lulus pendidikan di sekolah menengah kejuruan farmasi.

Lingkup pekerjaan Asisten Tenaga Kefarmasian meliputi pelaksanaan tugas yang diberikan oleh tenaga teknis kefarmasian dan apoteker dalam pekerjaan administrasi (clerkship) dan peran pelayanan pelanggan, mengikuti pelaksanaan standar prosedur operasional, dalam hal:

  1. Melakukan pencatatan tentang pembelian dan penyimpanan obat serta melakukan pendataan persediaan obat;
  2. Menerima pembayaran resep, stok harga, penandaan item untuk penjualan, pencatatan dan klaim asuransi
  3. Melakukan pelayanan perbekalan kesehatan rumah tangga;
  4. Melakukan pengarsipan resep sesuai data dan ketentuan berlaku;
  5. Melakukan pemeriksaan kesesuaian pesanan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan; danf.
  6. Melakukan pendistribusian sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan untuk keperluan floor stock
  7. Bagi Asisten Tenaga Kefarmasian yang bekerja di PUSKESMAS, dapat melakukan penyuluhan perilaku hidup bersih dan sehat.

Asisten Tenaga Kefarmasian dapat menjalankan pekerjaannya pada fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas produksi dan/atau distribusi sediaan farmasi, perbekalan kesehatan dan alat kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, Asisten Tenaga Kefarmasian disupervisi oleh tenaga teknis kefarmasian dan apoteker, Dalam hal di Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS), tenaga teknis kefarmasian dan tidak ada, Supervisi dapat dilaksanakan oleh Kepala PUSKESMAS.

Struktur sumber daya manusia kefarmasian seperti dijelaskan diatas, jika digambarkan dalam terlihat seperti bagan di gambar 3, berikut:

Gambar.3 Sumber Daya Manusia Kefarmasian

Selain sumber daya manusia kefarmasian seperti diuraikan diatas, dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Otoritas Veteriner pada pasal 35 pasal 4 huruf e menyebutkan bahwa Tenaga paramedik veteriner salah satunya adalah tenaga yang memiliki kompetensi teknis di bidang farmasi veteriner.

Sebagai tenaga kesehatan, tenaga kefarmasian tentunya memiliki hak dan kewajiban pada saat melakukan praktik kefarmasian sebagaiman diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan terutama pada BAB IX.

Hak Tenaga Kefarmasian

Sumber Daya Manusia Kefarmasian (tenaga kefarmasian) dalam menjalankan praktik kefarmasian berhak:

  1. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional
  2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Manfaat Praktik Kefarmasian atau pihak lain
  3. Menerima imbalan jasa praktik kefarmasian diluar nilai harga perbekalan farmasi yang digunakan
  4. Memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama
  5. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesi dan/atau kompetensinya
  6. Menolak keinginan Penerima Manfaat Praktik Kefarmasian atau pihak lain yang bertentangan dengan Standar Profesi, kode etik, standar pelayanan, Standar Prosedur Operasional, atau ketentuan Peraturan Perundang-undangan
  7. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

Kewajiban Tenaga Kefarmasian

Sumber Daya Manusia Kefarmasian (tenaga kefarmasian) dalam menjalankan praktik kefarmasian wajib:

  1. Melakukan Praktik Kefarmasian sesuai dengan Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan Penerima Manfaat Praktik Pelayanan Kefarmasian
  2. Memperoleh persetujuan dari Penerima Manfaat Praktik Pelayanan Kefarmasian atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan
  3. Menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Praktik Kefarmasian
  4. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang database pasien, penilaian/assesmen, rencana pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical Care Plan), implementasi rencana pelayanan kefarmasian, monitoring dan modifikasi rencana pelayanan kefarmasian
  5. Merujuk Penerima Manfaat Praktik Pelayanan Kefarmasian ke Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai melalui mekanisme perujukan yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi profesi.

Kewajiban sebagaimana dimaksud pada point b), c) dan d) hanya berlaku bagi Sumber Daya Manusia Kefarmasian yang melakukan praktik pelayanan kefarmasian.

D. Pendidikan Kefarmasian

Jenis Pendidikan Kefarmasian

Jenis Pendidikan Kefarmasian di Indonesia saat ini meliputi Pendidikan tinggi Farmasi dan Pendidikan Menegah Farmasi.

  • Pendidikan tinggi Farmasi

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, Jenis Pendidikan Tinggi kefarmasian terbagi menjadi Pendidikan Akademik Ilmu Kefarmasian, Pendidikan Profesi Apoteker dan  Pendidikan Vokasi Ilmu Kefarmasian.

  • Pendidikan Akademik Ilmu Kefarmasian

Pendidikan akademik Ilmu Kefarmasian merupakan Pendidikan Tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang Ilmu kefarmasian. Pendidikan akademik Ilmu Kefarmasian, meliputi :

  • Program Sarjana ilmu kefarmasian

Program sarjana ilmu kefarmasian merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran ilmiah dibidang kefarmasian.

Program sarjana ilmu kefarmasian menyiapkan Mahasiswa menjadi intelektual dan/atau ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja, serta mampu mengembangkan diri menjadi professional dibidang kefarmasian dengan melanjutkan ke program profesi apoteker.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi,  lulusan program sarjana ilmu kefarmasian berhak menggunakan gelar sarjana farmasi (S.Farm) dengan 2 (dua) program studi yaitu program studi Farmasi dan program studi Farmasi Klinis.

  • Program Magister Ilmu Kefarmasian

Program magister Ilmu Kefarmasian merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program sarjana atau sederajat sehingga mampu mengamalkan dan mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah dibidang kefarmasian.

Program magister ilmu kefarmasian mengembangkan Mahasiswa menjadi intelektual, ilmuwan yang berbudaya, mampu memasuki dan/atau menciptakan lapangan kerja serta mengembangkan diri menjadi profesional dibidang kefarmasian dengan melanjutkan ke program profesi apoteker atau program profesi apoteker spesialis.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi,  lulusan program megister ilmu kefarmasian berhak menggunakan gelar megister farmasi (M.Farm) dengan 3 (tiga) program studi yaitu program studi Ilmu Farmasi, program studi Farmasi Industridan program studi Farmasi Klinis.

  • Program Doktor Ilmu Kefarmasian.

Program doktor ilmu kefarmasian merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah dibidang kefarmasian.

Program doktor ilmu kefarmasian mengembangkan dan memantapkan Mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi,  lulusan program dotor ilmu kefarmasian berhak menggunakan gelar megister farmasi (Dr.Farm) dengan 1 (satu) program studi yaitu program studi Ilmu Farmasi.

  • Pendidikan Profesi Apoteker

Pendidikan profesi Apoteker merupakan Pendidikan Tinggi setelah Program Sarjana Farmasi yang menyiapkan Mahasiswa dapat melaksanakan praktik kefarmasian secara mandiri berdasarkan peraturan-perundangan sebagai apoteker. Pendidikan profesi Apoteker, meliputi

Program Pendidikan Profesi Apoteker

Pendidikan Profesi Apoteker merupakan Pendidikan Tinggi setelah Program Sarjana Farmasi yang menyiapkan Mahasiswa dapat melaksanakan praktik kefarmasian secara mandiri berdasarkan peraturan-perundangan sebagai apoteker.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi,  lulusan program Pendidikan profesi Apoteker berhak menggunakan gelar apoteker (apt.)

Program Pendidikan Profesi Apoteker Spesialis.

Pendidikan Profesi Apoteker Spesialis merupakan Pendidikan Tinggi setelah Pendidikan Profesi Apoteker yang menyiapkan Mahasiswa dapat melaksanakan praktik kefarmasian secara mandiri dengan kekhususan tertentu (spesialis) berdasarkan peraturan-perundangan sebagai apoteker spesialis. Lulusan program Pendidikan profesi apoteker spesialis berhak menggunakan gelar spesialis (Sp.Far).

  • Pendidikan Vokasi Ilmu Kefarmasian

Pendidikan vokasi Ilmu Kefarmasian merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan dalam bidang kefarmasian sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian. Pendidikan vokasi Ilmu Kefarmasian,meliputi :

  • Program Diploma Tiga (D3) ilmu Farmasi

Merujuk pada Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Farmasi yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian kesehatan tahun 2016, ahli madya farmasi memiliki kompetensi, sebagai berikut:

  1. Mampu melaksanakan pelayanan kefarmasian sesuai aspek legal yang berlaku sesuai standar operasional di sarana pelayanan kesehatan.
  2. Mampu melakukan produksi sediaan farmasi mengacu pada Cara Pembuatan Obat dan Obat Tradisional yang Baik yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
  3. Mampu melakukan pendistribusian sediaan Farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai mengacu pada standar yang telah ditetapkan sesuai dengan etik dan aspek legal yang berlaku
  4. Mampu membantu pelaksanaan penelitian di bidang kefarmasian
Baca :  BPOM Rancang Regulasi Pengedaran Obat dan Makanan secara Daring

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, lulusan program Diploma Tiga (D3) ilmu Farmasi berhak menggunakan gelar ahli madya farmasi (Amd.Farm).

  • Program Diploma Tiga (D3) Analis Farmasi dan Makanan.

Merujuk pada Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Analis Farmasi Dan Makanan yang dikeluarkan oleh Pusat Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementrian kesehatan tahun 2016, ahli madya farmasi memiliki kompetensi, sebagai berikut:

  1. Mempunyai kemampuan dalam melakukan pengelolaan bahan dan peralatan laboratorium farmasi dan makanan.
  2. Mempunyai kemampuan dalam melakukan analisis sediaan farmasi dan makanan.
  3. Mempunyai kemampuan dalam melakukan verifikasi kesesuaian proses pemeriksaan dengan Standard Operating Procedure (SOP).
  4. Mempunyai kemampuan dalam membantu proses penelitian dasar maupun terapan di laboratorium bidang farmasi dan makanan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi, lulusan program Diploma Tiga (D3) Analis Farmasi dan Makanan berhak menggunakan gelar ahli madya Analis Farmasi dan Makanan (Amd.Si).

  • Pendidikan Menegah Farmasi.

Merujuk Pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1990 Tentang Pendidikan Menengah, Pendidikan Menegah Farmasi merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan pekerjaan dibidang kefarmasian sebagai Asisten Tenaga Kefarmasian. Pendidikan Menegah Farmasi meliputi pendidikan menegah kejuruan farmasi.

Penyelenggara Pendidikan Kefarmasian

Penyelenggaraan pendidikan kefarmasian dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Setiap Institusi Penyelenggara Pendidikan Kefarmasian harus bergabung dalam Asosiasi Institusi Pendidikan Kefarmasian. Asosiasi Institusi Pendidkan Kefarmasian sebagaimana dimaksud, yaitu:

  1. Asosiasi Pendidkan Tinggi Farmasi yang menghimpun Pendidikan Kefarmasian Sarjana, Magister, Doktor, Profesi dan Spesialis.
  2. Asosiasi Pendidikan Diploma Farmasi yang menghimpun Pendidikan Diploma Kefarmasian.
  3. Asosiasi Pendidkan Menengah Farmasi yang menghimpun Pendidikan Menengah Kejuruan Bidang Farmasi.

Pendidikan pendidikan kefarmasian diselenggarakan berdasarkan izin sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri. Pembinaan akademik pendidikan kefarmasian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Dalam penyusunan kurikulum pendidikan kefarmasian, penyelenggara pendidikan kefarmasian harus mengacu pada Standar Nasional Pendidikan menengah dan Pendidikan Tinggi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan berkoordinasi dengan Menteri.

Dalam rangka penjaminan mutu lulusan, penyelenggara pendidikan kefarmasian hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional. Ketentuan mengenai kuota nasional penerimaan mahasiswa diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri.

Penyelenggaraan pendidikan kefarmasian harus memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kefarmasian dan Standar Nasional Pendidikan Menengah Kejuruan Bidang Kefarmasian yang mengacu pada Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Standar Nasional Pendidikan Menengah Kejuruan.

Standar Nasional Pendidikan Tenaga Kefarmasian dan Standar Nasional Pendidikan Menengah Kejuruan Bidang Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada point 9 disusun secara bersama oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, asosiasi institusi pendidikan, dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) sebagai satu-satunya Organisasi Profesi tenaga kefarmasian serta ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

Siswa atau Mahasiswa pendidikan kefarmasian pada akhir masa pendidikan menengah, vokasi dan profesi harus mengikuti Uji Kompetensi secara nasional yang ditujukan untuk mencapai standar kompetensi lulusan yang memenuhi standar kompetensi praktik kefarmasian. Uji Kompetensi sebagaimana dimaksud diselenggarakan oleh penyelenggara pendidikan kefarmasian bekerja sama dengan Organisasi Profesi, lembaga pelatihan, atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi. Standar kompetensi praktik kefarmasian disusun oleh Organisasi Profesi dan konsil masing-masing Tenaga Kesehatan dan ditetapkan oleh Menteri.

Siswa pendidikan vokasi (SMK Farmasi) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi. Mahasiswa pendidikan vokasi (Diploma Tiga (D3) Analis Farmasi dan Makanan  dan Diploma Tiga (D3) ilmu Farmasi) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Kompetensi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi penyelenggara program studi tersebut. Sedangkan Mahasiswa pendidikan profesi (Program Pendidikan Profesi Apoteker dan Program Pendidikan Profesi Apoteker Spesialis) yang lulus Uji Kompetensi memperoleh Sertifikat Profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi penyelenggara program profesi tersebut.

E. Registrasi Dan Perizinan Praktik Sumber Daya Manusia Kefarmasian

Registrasi Sumber Daya Manusia Kefarmasian

Setiap sumber daya manusia kefarmasian kecuali asisten tenaga kefarmasian yang menjalankan praktik kefarmasian wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) yang diberikan oleh Konsil Farmasi Indonesia setelah memenuhi persyaratan yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang setelah memenuhi persyaratan. STR sebagaimana dimaksud secara ideal jika berdasarkan kompetensi akademik sumber daya manusia kefarmasian seperti telah diuraikan diatas diperuntukkan bagi :

  1. apoteker spesialis berupa STRASp
  2. apoteker berupa STRA
  3. Teknisi Farmasi berupa STRTFar
  4. Analis Farmasi berupa STRAFar

Persyaratan untuk mengajukan STR untuk pertama kali ke Konsil Farmasi Indonesia meliputi:

  1. Memiliki ijazah pendidikan kefarmasian meliputi:
  2. Memiliki Sertifikat Kompetensi (Teknisi Farmasi dan Analis Farmasi) atau Sertifikat Profesi (apoteker dan apoteker spesialis);
  3. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
  4. Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji profesi;
  5. Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Adapun Persyaratan untuk mengajukan Registrasi ulang STR ke Konsil Farmasi Indonesia meliputi:

  1. Memiliki STR lama;
  2. Memiliki Sertifikat Kompetensi atau Sertifikat Profesi;
  3. Memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
  4. Membuat pernyataan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi;
  5. Telah mengabdikan diri sebagai tenaga profesi atau vokasi di bidang kefarmasian;
  6. Memenuhi kecukupan dalam kegiatan pelayanan, pendidikan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah lainnya.

Apoteker atau Apoteker Spesialis lulusan luar negeri yang akan menjalankan praktik kefarmasian di Indonesia harus memiliki STRA atau STRASp setelah melakukan adaptasi Pendidikan. Adaptasi pendidikan dilakukan pada institusi Pendidikan Apoteker atau Apoteker Spesialis di Indonesia yang terakreditasi. STRA atau STRASp sebagaimana dimaksud dapat berupa:

  1. STRA atau STRASp;

STRA atau STRASp diberikan kepada:

  1. Apoteker warga negara Indonesia lulusan luar negeri yang telah melakukan adaptasi Pendidikan Apoteker di Indonesia dan memiliki sertifikat kompetensi profesi,
  2. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di Indonesia yang telah memiliki sertifikat kompetensi profesi dan telah memiliki izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian.
  3. Apoteker warga negara asing lulusan program pendidikan Apoteker di luar negeri dengan ketentuan:
  4. telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker di Indonesia;
  5. telah memiliki sertifikat kompetensi;
  6. telah memenuhi persyaratan untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian
  7. STRA Khusus atau STRASp khusus.

STRA Khusus, STRASp Khusus dapat diberikan kepada Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri dengan syarat: atas permohonan dari instansi pemerintah atau swasta, mendapat persetujuan Menteri dan praktik kefarmasian dilakukan kurang dari 1 (satu) tahun.

Kepada Kandidat Tenaga Kefarmasian yang akan melakukan Praktik Kerja Profesi Apoteker, Praktik Kerja Profesi Apoteker Spesialis serta Praktik Kerja Lapangan untuk teknisi farmasi dan analis farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian diberikan STR sementara. STR sementara hanya berlaku selama menjalankan Praktik Kerja Profesi Apoteker, Praktik Kerja Profesi Apoteker Spesialis atau Praktik Kerja Lapangan berlangsung.

Perizinan Praktik Sumber Daya Manusia Kefarmasian

Setiap sumber daya manusia kefarmasian kecuali asisten tenaga kefarmasian yang menjalankan praktik kefarmasian di fasilitas kefarmasian wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP) yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat tenaga kefarmasian menjalankan praktiknya dan SIP sebagaimana dimaksud secara ideal jika berdasarkan kompetensi akademik sumber daya manusia kefarmasian seperti telah diuraikan diatas diperuntukkan bagi :

  1. apoteker spesialis berupa SIPASp
  2. apoteker berupa SIPA
  3. Teknisi Farmasi berupa SIPTFar
  4. Analis Farmasi berupa SIPAFar

Setiap tenaga kefarmasian diizinkan memiliki maksimal 3 (tiga) SIP dan SIP tersebut masing-masing berlaku maksimal untuk 1 (satu) tempat. Untuk mendapatkan SIP, seorang tenaga kefarmasian harus memiliki:

  1. STR yang masih berlaku;
  2. Rekomendasi dari Organisasi Profesional Kefarmasian temapat tenaga kefarmasian tersebut bergabung;
  3. tempat praktik.

Daftar Pustaka.

  • Undang Undang Nomor 18 Tahun 2009 Tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
  • Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
  • Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi
  • Undang-Undang Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun1990 Tentang Pendidikan Menengah
  • Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Farmasi
  • Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Otoritas Veteriner
  • Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan.
  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2012 Tentang Sistem Kesehatan Nasional
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 1175/MENKES/PER/VIII/2010 tentang Kosmetik
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 6 tahun 2012 tentang industi dan usaha Obat Tradisional
  • Peraturan Menteri Kesehatan No. 16 tahun 2013 tentang Industri Farmasi
  • Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 2014 Tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Serta Gelar Lulusan Perguruan Tinggi
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek.
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas.
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 76 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.
  • Peraturan Menteri kesehatan Nomor 80 Tahun 2016, tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Asisten Tenaga Kesehatan
  • Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 14/PERMENTAN/PK.350/5/2017 Tentang Klasifikasi Obat Hewan
  • Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan Dan Penandaan Obat Bahan Alam.
  • International Labour Organization. 2012. International Standard Classification of Occupations 2008 (ISCO08) Volume 1: Structure, Group Definitions and Correspondence Tables. Geneva: ILO Publications.
  • Ansel.C.H, Price.S.J, 2004, Kalkulasi Farmasetik Panduan Untuk Apoteker, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
  • PPSDM Kemenkes, 2016, Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Farmasi
  • PPSDM Kemenkes, 2016, Kurikulum Inti Pendidikan Diploma III Analis Farmasi dan Makanan
  • Widyati, 2019, Praktik Farmasi Klinik, Surabaya: Penerbit Uwais Inspirasi Indonesia
  • https://farmasi.ugm.ac.id/id/pertama-kali-di-indonesia-ugm-resmikan-apotek-veteriner/
  • https://fkh.ugm.ac.id/2019/12/0814/
  • https://farmasetika.com/2020/09/29/menkes-akan-hadiri-pengukuhan-apoteker-spesialis-farmasi-nuklir/

Penulis : apt.Sudarsono., M.Sc. apoteker Farmasi Klinis RSUD Depati Hamzah Kota Pangkalpinang, Ketua Pengurus Daerah HISFARSI Kepulauan Bangka Belitung

Versi pdf

Loader Loading…
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [819.04 KB]

About farset

Situs http://gudangilmu.farmasetika.com/ merupakan sebuah website tutorial yang berisi “Gudang Ilmu Farmasi” atau kumpulan tulisan maupun data (database) dan fakta terkait kefarmasian yang dikategorikan kedalam pengetahuan yang cenderung tidak berubah dengan perkembangan zaman.

Check Also

apoteker

Perubahan Registrasi dan Perizinan Tenaga Medis dan Kesehatan Pasca Terbitnya UU Kesehatan No. 17 Tahun 2023

GudangIlmuFarmasi – Baru-baru ini, Menteri Kesehatan Republik Indonesia menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.01/MENKES/1911/2023 mengenai registrasi …