Cetak Biru (Blueprint) Strategi Transformasi Digital Kesehatan 2024

GudangIlmuFarmasi – Kementrian Kesehatan mengeluarkan CETAK BIRU (BLUEPRINT) STRATEGI TRANSFORMASI DIGITAL KESEHATAN dalam Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) nomor HK.01.07/MENKES/1559/2022 tentang PENERAPAN SISTEM PEMERINTAHAN BERBASIS ELEKTRONIK BIDANG KESEHATAN DAN STRATEGI TRANSFORMASI DIGITAL KESEHATAN.

Daftar Isi

BAB I SITUASI DAN TANTANGAN KESEHATAN DIGITAL INDONESIA

A. Situasi dan Tantangan

Perkembangan era digital menjadikan integrasi data yang rutin dan berkualitas menjadi suatu komponen penting dalam mewujudkan transformasi digital. Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa data yang terintegrasi serta sistem pelayanan kesehatan yang lebih sederhana merupakan salah satu aspek yang harus terus ditingkatkan untuk mencapai Indonesia Sehat.

Proses integrasi data pelayanan kesehatan yang lebih sederhana, nyatanya memiliki banyak tantangan. Banyaknya aplikasi kesehatan yang terbangun oleh pemerintah pusat, daerah, maupun pihak swasta menjadi tantangan dalam menuju integrasi sistem data kesehatan. Aplikasi yang seharusnya memudahkan dan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan justru menimbulkan masalah baru, seperti tersebarnya data di berbagai aplikasi yang ada dan memiliki standar yang berbeda-beda sehingga tidak mudah diintegrasikan dan kurang bisa dimanfaatkan. Berdasarkan hasil pemetaan saat ini terdapat lebih dari 400 aplikasi kesehatan dibangun atau dikembangkan oleh pemerintah pusat dan daerah. Jumlah tersebut dapat bertambah banyak jika ditambahkan dengan aplikasi-aplikasi spesifik, baik yang dibuat oleh pihak ketiga maupun yang dibuat oleh institusi kesehatannya itu sendiri. Masalah digitalisasi kesehatan yang lainnya terjadi ketika ditemukannya banyak data kesehatan yang masih terdokumentasi secara manual. Data kesehatan di beberapa daerah masih terdokumentasi menggunakan kertas dan tidak terintegrasi secara digital.

Tantangan utama dalam membangun data kesehatan nasional adalah lebih dari 80% fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini belum tersentuh teknologi digital, data yang terfragmentasi dan tersebar pada ratusan aplikasi sektor kesehatan yang bervariasi, serta keterbatasan regulasi dalam hal standardisasi dan pertukaran data.

1. Jutaan Data dan Ratusan Aplikasi

Data kesehatan Indonesia kini masih tersebar dan terdapat banyak sistem yang bervariasi. Provider layanan kesehatan mendapatkan informasi parsial. Banyak yang belum terpetakan dari data yang ada. Dibutuhkan platform data terintegrasi untuk bisa mendukung internal fasilitas pelayanan kesehatan dalam memaksimalkan pelayanan rumah sakit, terutama untuk memprediksi penyakit pasien.

2. Data terfragmentasi

Data kesehatan Indonesia kini masih tersebar dan terdapat banyak sistem yang bervariasi. Provider layanan kesehatan mendapatkan informasi parsial. Banyak yang belum terpetakan dari data yang ada. Platform data terintegrasi sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung internal fasilitas pelayanan kesehatan dalam memaksimalkan pelayanan rumah sakit, terutama untuk memprediksi penyakit pasien.

4. Keterbatasan regulasi.

Tantangan dalam layanan kesehatan menjadikan kebijakan kesehatan belum sepenuhnya berlandaskan pada data yang menyeluruh, serta pelayanan kesehatan belum terselenggara secara efisien, hal tersebut karena keterbatasan regulasi misalnya berkaitan dengan proteksi dan standarisasi data, serta jaminan hak dan privasi pasien. Hal tersebut berimplikasi dengan kemampuan interoperabilitas diperlukan untuk dapat mengintegrasi semua sistem informasi dan aplikasi ke dalam database terpusat yang bertujuan untuk memudahkan pengguna, baik dari pasien maupun provider layanan. Oleh karena itu, perlu dipahami lebih lanjut permasalahan-permasalahan dalam ruang lingkup kesehatan yang ditinjau berdasarkan pengelompokan layanan primer, sekunder, kefarmasian dan alat kesehatan, ketahanan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, pembiayaan kesehatan, manajemen internal, dan bioteknologi.

B. Permasalahan Pelayanan Kesehatan

1. Layanan Primer dan Sekunder

Layanan primer terdiri dari puskesmas, klinik, dan dokter umum, serta layanan sekunder terdiri dari seluruh rumah sakit baik rumah sakit umum maupun rumah sakit khusus. Layanan primer dan sekunder berperan sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan yang melayani sekitar 272 juta orang di seluruh Indonesia.

Pemanfaatan teknologi informasi di bidang kesehatan sudah digunakan cukup luas, dari perencanaan kesehatan hingga menyediakan data kesehatan yang beragam baik pada tingkat individu maupun masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020- 2024). Namun, dengan beragamnya fungsi dari aplikasi yang sudah ada, terjadi fragmentasi sistem informasi kesehatan dan data yang ada tidak dapat saling dipertukarkan.

Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan, World Health Organization (WHO) menyatakan pentingnya mengutamakan prinsip continuum of care dalam pelayanan kesehatan dimana Fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pengamatan kesehatan pasien secara berkesinambungan (De Graft- Johnson et al., 2006).

Pengamatan pasien secara berkesinambungan dan komprehensif dapat membantu para tenaga kesehatan dalam mengevaluasi tata laksana kesehatan yang telah diberikan. Hasil evaluasi tata laksana yang baik dapat memudahkan komunikasi antar Fasilitas pelayanan kesehatan untuk melaksanakan rujukan dengan efektif dan efisien bila diperlukan. Pencatatan data yang tidak lengkap, inkonsisten, serta akurasinya yang masih rendah merupakan faktor utama penurunan kualitas dalam pelayanan fasilitas layanan kesehatan.

Pencatatan data yang lengkap dan terstandarisasi dapat memudahkan penyusunan evidence-based policy, persiapan fasilitas layanan kesehatan dalam meningkatkan kompetensi, serta memangkas beban kerja administratif puskesmas dan rumah sakit yang hingga kini menggunakan lebih dari 60 aplikasi sekaligus untuk memenuhi administrasi pelaporan.

Baca :  Download Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan beberapa poin fokus permasalahan utama dalam layanan primer dan sekunder sebagai berikut:

Gambar 1. Permasalahan Utama dalam Layanan Primer dan Sekunder
2. Layanan Farmasi dan Alat Kesehatan

Sasaran dari hasil Program Pelayanan Kesehatan & JKN pada Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2020-2024 adalah meningkatnya akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi dan alat kesehatan, dengan indikator kinerja utamanya pada tahun 2024 adalah:

a. Persentase kabupaten/kota dengan ketersediaan obat esensial sebesar 85%;
b. Persentase alat kesehatan memenuhi syarat sebesar 95%;
c. Persentase puskesmas dengan ketersediaan vaksin IDL (Imunisasi Dasar Lengkap) sebesar 96,5%.
d. Persentase jenis bahan baku sediaan farmasi yang diproduksi dalam Negeri sebesar 100%
e. Persentase alat Kesehatan yang diproduksi dalam negeri 100%

Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan teruji saat wabah Pandemi COVID-19 melanda Indonesia. Rantai pasok pelayanan kesehatan menjadi sorotan. Penyebaran virus berdampak sangat signifikan pada sistem pelayanan kesehatan. Institusi pelayanan kesehatan menghadapi peningkatan permintaan di bawah hambatan-hambatan operasional yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tantangan utama dalam mengelola krisis ini adalah produksi dan distribusi pasokan medis. Ketika alat pelindung diri (APD), ventilator, dan obat-obatan dibutuhkan, pengadaan beserta distribusi alat tersebut menjadi tantangan. Hal ini mengakibatkan terjadinya kekurangan sekaligus mengekspos rapuhnya rantai pasok pelayanan kesehatan (Iyengar et al., 2020).

Terbukanya masalah kesehatan terkait rantai pasok kesehatan menunjukkan pentingnya pembangunan rantai pasok pelayanan yang tangguh dan responsif. Rantai pasok kesehatan yang tidak terintegrasi dengan baik menyebabkan fasilitas layanan kesehatan tidak dapat merespons dengan cepat sinyal risiko yang ada.

Permasalahan sektor layanan farmasi dan alat kesehatan terdefinisi menjadi empat permasalahan utama, yakni sebagai berikut:
a. Tidak ada standarisasi kode perusahaan, produk, dan material bahan baku. Hal ini menjadi akar permasalahan untuk membangun platform terintegrasi karena tidak adanya single key data feature yang digunakan untuk agregasi dan pengolahan data.
b. Data stok obat, alat kesehatan, dan PKRT disimpan terpisah di masing-masing instansi (produsen, distributor, dan fasilitas pelayanan kesehatan), ditambah dengan tidak adanya format data yang baku.
c. Rendahnya akurasi pemetaan supply dan demand yang berpengaruh pada tingginya opportunity cost dari stock out, serta adanya peredaran obat dan vaksin ilegal yang membahayakan masyarakat.
d. Proses perizinan dan monitoring kepatuhan yang berulang dimana mengharuskan pelaku industri farmasi dan alat kesehatan melakukan proses registrasi dan pelaporan kepada berbagai pihak yang berbeda dengan substansi laporan yang sama.

3. Layanan Ketahanan Kesehatan

Belajar dari pengalaman penanganan pandemi COVID-19, penanganan pandemi yang masih sporadis dengan pendekatan pembuatan kebijakan yang masih tradisional mengekspos sistem ketahanan kesehatan Indonesia yang sangat rentan, dalam kondisi darurat kualitas mitigasi sangat tergantung pada efektivitas alokasi sumber daya pada sektor kritikal dan respon yang terkoordinasi pada lintas sektor dengan waktu sesingkat mungkin (Sasongkojati, 2020).

Ketahanan kesehatan berperan sangat penting bagi suatu negara. Ketahanan kesehatan masyarakat global atau global public health security didefinisikan sebagai kegiatan yang diperlukan, baik praktis maupun reaktif, untuk meminimalkan bahaya dan dampak peristiwa kesehatan masyarakat yang membahayakan kesehatan masyarakat lintas wilayah geografis dan batas internasional (World Health Organization, 2021).

Membangun sistem ketahanan kesehatan yang responsif dan efektif membutuhkan pengambilan keputusan berdasarkan data yang robust dan real time. Sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.

Kementerian Kesehatan mendapatkan instruksi untuk:
a. Meningkatkan kemampuan dalam mencegah, mendeteksi, dan merespons wabah penyakit, pandemi global, dan kedaruratan nuklir, biologi, dan kimia;
b. Meningkatkan koordinasi teknis pelaksanaan International Health Regulations (IHR) 2005 dengan pendekatan multisektor;
c. Meningkatkan kapasitas surveilans kesehatan yang mampu mengidentifikasi kejadian yang berpotensi menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk situasi di pintu keluar masuk negara, resistensi antimikroba, dan keamanan pangan; d. Meningkatkan cakupan dan kualitas pelaksanaan imunisasi;
e. Meningkatkan pencegahan dan pengendalian zoonosis dan resistensi antimikroba;
f. Meningkatkan kapasitas dan memperkuat jejaring laboratorium yang mendukung identifikasi permasalahan kesehatan masyarakat.

Ketahanan kesehatan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah negara maupun daerah serta publik dan mitra swasta, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, asosiasi profesi, komunitas, relawan, keluarga, dan individu (US National Health Security Strategy, 2021).

4. Layanan Sumber Daya Manusia Kesehatan

Secara keseluruhan, Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK) yang telah dipetakan menjadi salah satu variabel utama ketahanan kesehatan nasional dan sistem kesehatan secara umum. Ketersediaan SDMK yang menjadi aktuator dari solusi, baik secara preventif, promotif, maupun kuratif adalah dasar-dasar penentuan performa ketahanan nasional. Di sisi lain, menjadi pengawas penuh terhadap fungsi ketahanan ini adalah bagian dari peran-peran utama Kementerian Kesehatan.

Kebutuhan akan peran-peran tersebut saat ini belum dapat diakomodasi dengan optimal oleh sistem yang telah berlaku. Hal tersebut ditunjukkan dari Hasil Riset Ketenagaan Kesehatan (Kementerian Kesehatan, Badan Litbangkes, 2017), bahwa kondisi SDMK rumah sakit di Indonesia masih kurang sebesar 56,6% dan hanya sebesar 38,9% menyatakan kebutuhan SDMK yang sudah sesuai. Kondisi yang sama juga terjadi di Puskesmas, hanya 12,7% yang menyatakan bahwa kondisi ketenagaan di Puskesmas telah sesuai sedangkan sebanyak 82,5% menganggap SDMK Puskesmas masihlah kurang.

Baca :  BAB II Transformasi Teknologi Kesehatan (Blueprint)

Kondisi ketenagaan di puskesmas telah sesuai sedangkan sebanyak 82,5% menganggap SDMK puskesmas masihlah kurang. Berbagai kendala terjadi dalam upaya pemenuhan ketersediaan seluruh data SDMK, sehingga sampai saat ini keadaan informasi mengenai ketahanan SDMK menjadi sangat minim baik dari segi

kuantitas maupun kualitas. Di tingkat nasional, perencanaan SDMK menjadi salah satu masalah strategis yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional, dimana pelaksanaannya dinilai masih lemah dan sistem informasi terkait SDMK belum memadai.Selain itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 33 Tahun 2015, perlunya dilakukan penyusunan rencana kebutuhan SDMK untuk melihat kebutuhan pada masing-masing level pemerintahan, baik dari segi jumlah, jenis, mutu, kualifikasi dan sebarannya (AIPHSS, 2015). Namun, hasil dari Risnakes menunjukkan bahwa tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan menyusun kebutuhan SDMK, hanya 79,8% Puskesmas dan 83,2% rumah sakit yang telah melakukannya.

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 14 ayat 2 perencanaan kebutuhan diawali pengajuan usulan dari instansi kesehatan, kemudian direkapitulasi oleh kabupaten/kota untuk disampaikan kepada pemerintah pusat melalui provinsi (AIPHSS, 2016). Sayangnya, pada pelaksanaan di lapangan, mekanisme pengusulan secara bottom-up tersebut nyatanya belum disertai dengan pemahaman merata mengenai keseluruhan tahapan perencanaan SDMK hingga level pengambil kebijakan teknis (Hendrayanti, 2008), (Beswick & Hill, 2010), (Rakhmawati & Rustiyanto, 2016), (Sumiarsih & Nurlinawati, 2019).

Berdasarkan uraian di atas, terdapat empat permasalahan utama yang hadir dalam upaya mencapai ketahanan SDMK nasional, diantaranya:
a. Perolehan dan analisis data hanya berdasarkan sandingan berbagai sumber saja tanpa perolehan data secara langsung sehingga akurasi data menjadi tidak maksimal.
b. Nihilnya standarisasi pendataan membuat SDMK dengan kondisi khusus dapat membuat SDMK terdata ganda atau tidak terdata sama sekali.
c. Buta terhadap informasi persebaran lokasi setiap individu SDMK berikut detail keahlian dan latar belakang pendidikannya.
d. Informasi kesiapan cadangan SDMK tidak terstandar tanpa kelengkapan informasi kompetensi dan potensinya.

5. Layanan Pembiayaan Kesehatan

Pembiayaan kesehatan merupakan salah satu pilar dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan nasional yang berperan sebagai enabler dalam seluruh layanan kesehatan. Rekaman transaksi, skema penjaminan, serta analisis strategis menjadi kunci-kunci kegiatan untuk memperoleh pengetahuan dan pertimbangan yang terus-menerus memperbaiki keadaan kegiatan kesehatan nasional. Oleh karenanya, untuk mendapatkan seluruh elemen pertimbangan yang komprehensif, dibutuhkan sistem terintegrasi operasional dan serapan data berkualitas di pemangku kepentingan pembiayaan.

Kegiatan analisis data dan informasi dari berbagai transaksi yang terjadi dalam lingkup optimalisasi kesehatan merupakan basis aktivitas utama untuk memperoleh keluaran keputusan, kebijakan, serta rekomendasi strategis dalam pelaksanaan kegiatan kesehatan nasional. Pengeluaran untuk belanja kesehatan nasional (health expenditure) sendiri memiliki pengaruh besar dalam penyelesaian permasalahan kesehatan nasional.

Di Uni Eropa, nominal pengeluaran belanja kesehatan nasional memiliki pengaruh positif pada Angka Harapan Hidup (AHH) serta menurunkan angka kematian kelahiran 0.64% per satu persen peningkatan pengeluaran belanja kesehatan (Onofrei et al., 2021). Pengeluaran belanja kesehatan pada setiap provinsi di Cina juga memiliki dampak positif pada penurunan angka kematian individu (Hou et al., 2020). Analisis strategis dan kebijakan yang tepat sasaran serta dalam kaitannya dengan pengeluaran belanja kesehatan menjadi kunci utama yang mempengaruhi dampak positif tersebut.

Dalam amanat UU Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pembiayaan kesehatan bertujuan untuk menciptakan pembiayaan yang berkecukupan, berkesinambungan, alokasi yang adil, efektif dan efisien, komprehensif, menjamin pemerataan, serta transparan dan akuntabel dengan fungsi utama mobilisasi sumber-sumber pembiayaan, alokasi anggaran kesehatan nasional, serta pemanfaatan anggaran kesehatan (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009). Dalam hal ini, kaitannya dengan pelaksanaan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), serta tata kelola dalam upaya-upaya tersebut. World Health Organization (WHO) sendiri menetapkan System Health Account (SHA) untuk menunjang fungsi-fungsi tersebut dengan menitikberatkan pada konsumsi, provisi, dan finansial (WHO & Organisation for Economic Co-operation and Development, 2011).
Pembiayaan mandiri (Out of Pocket) oleh masyarakat menjadi indikator utama dalam penilaian performa belanja kesehatan nasional. Artinya, seluruh pengeluaran dan belanja kesehatan nasional juga bertujuan menurunkan pembiayaan mandiri oleh masyarakat. Skema jaminan kesehatan akan berdampak langsung pada ketercapaian ini dengan prinsip dan asas yang ditegakkan pada amanat UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Data dan analisis terhadap belanja kesehatan secara nasional kemudian menjadi langkah-langkah utama dalam memiliki arahan dan eksekusi belanja yang strategis. Objektif yang diharapkan agar seluruh analisis berasal dari data yang baik secara kuantitas dan kualitas serta memiliki standarisasi yang tepat. National, Provincial, District Health Account (NHA, PHA, dan DHA) sebagai bagian dari SHA memberikan akomodasi menyeluruh pada kebutuhan pertimbangan keputusan belanja kesehatan nasional.

Baca :  BAB III Enterprise Architecture Teknologi Kesehatan (Blueprint)

Untuk memenuhi seluruh objektif baik masukan data, analisis, maupun standarisasi, terdapat 4 masalah utama yang perlu diselesaikan:
a. Data informasi pengeluaran untuk kesehatan secara nasional belum rinci dan mengakomodasi seluruh kebutuhan analisis pengeluaran kesehatan nasional.
b. Analisis NHA, PHA, dan DHA baru tersedia setelah 2 tahun anggaran dan pengeluaran kesehatan nasional dilakukan sehingga relevansi pertimbangan tidak optimal.
c. Data pengeluaran asuransi kesehatan nasional milik pemerintah, lembaga nasional, maupun milik swasta belum tersedia secara lengkap dan menyeluruh sehingga performa jaminan kesehatan tidak dapat dianalisis dengan optimal.

6. Layanan Manajemen Internal

Pengembangan sistem manajemen internal kantor yang tepat dapat meningkatkan efisiensi untuk setiap kegiatan dan laporan yang harus ditangani. Dalam panduan ini, kita akan melihat rancangan manajemen internal kantor untuk Kemenkes RI beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) vertikal. Instansi lain yang juga turut serta dapat menggunakan adalah instansi yang secara langsung bertanggung jawab kepada Kemenkes RI atau jabatan yang dilantik langsung oleh Menteri Kesehatan yaitu diantaranya Politeknik Kesehatan, Balai Besar Pelatihan Kesehatan, Balai Pelatihan Kesehatan, Rumah Sakit Nasional, dan Laboratorium Kesehatan Masyarakat. Instansi lain yang pertanggungjawabannya tidak langsung kepada Menteri Kesehatan seperti Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab secara berurutan kepada Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat, juga dapat menggunakan sistem manajemen internal kantor karena dibuat secara modular.

Adapun beberapa tujuan dalam pengembangan sistem manajemen internal ini yaitu, untuk mengintegrasikan semua aplikasi yang ada menjadi satu kesatuan sehingga dapat digunakan secara efisien dan efektif, selain itu juga untuk memudahkan pengisian data sehingga tidak ada data yang redundan. Data input personal dapat dilakukan penginputan data profil satu kali dan data yang bersifat spesifik, unik, dan tentatif akan dilakukan pada setiap keperluan.

Dengan 19 modul utama yang dimiliki oleh manajemen internal di Kementerian Kesehatan, sistem ini akan mempermudah lima proses bisnis utama, yaitu operasional internal, lelang, perencanaan dan anggaran, implementasi, serta monitoring dan evaluasi.

7. Layanan Bioteknologi

Data kesehatan di Indonesia masih belum dapat dilakukan utilisasi dengan maksimal karena data masih terpencar, kuantitas dan kualitas rendah, serta adanya ego sektoral. Data yang dimaksud disini adalah data pre- klinik, klinik, genomic, dan cmc. Data genomic sendiri meliputi genomic tanaman, hewan, mikroorganisme, dan manusia. Data-data ini masih belum dapat dikumpulkan sehingga proses penanggulangan mitigasi perkembangan penyakit, mutasi, serta perkembangan riset di dunia medis tidak dapat melakukan lompatan signifikan. Masing-masing sektor masih berjalan pada lajur masing- masing dengan belum adanya pusat data yang dapat menjadi backbone dalam melakukan inovasi berbasis bioteknologi.

Kapasitas surveilans genomic Indonesia untuk mendeteksi varian baru SARS-CoV-2 dinilai masih sangat kurang. Berdasarkan jumlah total genom yang didaftarkan ke bank data GISAID, Indonesia hanya

menempati peringkat ke-7 dari 10 negara di Asia Tenggara. Angka ini menunjukkan bahwa kondisi performansi dari Biobank di Indonesia masih sangat rendah. Surveilans genomic ini membutuhkan waktu lama, hanya bisa dilakukan di laboratorium spesifik dan biayanya juga mahal. Kondisi ini berpengaruh signifikan terhadap ketahanan kesehatan di Indonesia.

Perkembangan bioteknologi di Indonesia telah berjalan sejak lama, namun cenderung lambat karena beberapa faktor. Faktor pertama adalah minimnya dana penelitian di bidang bioteknologi. Penelitian bioteknologi diperlukan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk serta pengetahuan tentang bioteknologi. Faktor lainnya adalah rendahnya sumber daya manusia, fasilitas, dan kebijakan pemerintah yang memperpanjang proses pemasaran produk rekayasa genetika.

Bioteknologi memiliki peran positif bagi dunia pertanian, kesehatan dan lingkungan. Dalam dunia kesehatan, keberadaan biosampel berkualitas tinggi dapat berkontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Peran biobank dapat memberikan peneliti akses ke data yang mewakili sejumlah besar orang. Sampel dalam biobank dan data yang diperoleh dari sampel tersebut seringkali dapat digunakan oleh banyak peneliti untuk studi penelitian lintas tujuan. Salah satu dari data genetik yang ditemukan adalah pada populasi Indonesia yang menderita kanker payudara, dan sekitar 30% perlu mengubah resep dosis dari yang direkomendasikan untuk pengobatan mereka.

Dalam rancangan platform Bioteknologi, pihak penyedia dari Kemenkes RI dapat memantau perusahaan-perusahaan yang terdaftar, periset, dan jumlah transaksi. Ketika platform ini diluncurkan, diperlukan komunikasi yang masif untuk menjaga customer engagement. Melalui edukasi kepada masyarakat, maka terciptalah ekosistem yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut.

BAB II TRANSFORMASI TEKNOLOGI KESEHATAN (Klik Disini)

BAB III ENTERPRISE ARCHITECTURE TEKNOLOGI KESEHATAN (Klik Disini)

BAB IV PENUTUP (Klik Disini)

About farset

Situs http://gudangilmu.farmasetika.com/ merupakan sebuah website tutorial yang berisi “Gudang Ilmu Farmasi” atau kumpulan tulisan maupun data (database) dan fakta terkait kefarmasian yang dikategorikan kedalam pengetahuan yang cenderung tidak berubah dengan perkembangan zaman.

Check Also

Susunan Konsil Kesehatan Indonesia 2024-2028

GudangIlmuFarmasi – Berikut adalah susunan pengurus konsil kesehatan indonesia masa bakti 2024-2028 sesuai amanat Undang–Undang Republik …