GudangIlmuFarmasi – RAKERNAS dan PIT IAI 2017 pada 6 September 2017 di INDONESIA CONVENTION EXHIBITION (ICE), BSD City Tangerang menghadirkan pembicara Kombes Pol. Drs. Mufti Djusnir, Apt., M.Si (Ketua Badan Advokasi Mediasi & Perlindungan Anggota PP IAI) dengan topik “Strategi Menghadapi Kriminalisai Praktik Apoteker”.
Daftar Isi
Pengertian Kriminalisasi
Dalam perkembangan penggunaannya, kriminalisasi mengalami neologisme, yaitu menjadi sebuah keadaan saat seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku kejahatan atau penjahat, oleh karena adanya sebuah pemaksaan interpretasi atas perundang-undangan melalui anggapan mengenai penafsiran terhadap dalam peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh dalam perseteruan KPK dan polisi, kata kriminalisasi digunakan media untuk mendefinisikan upaya polisi menjerat pemimpin KPK.
Merujuk dari penggunaan kata “kriminalisasi” yang berkembang saat ini, setidaknya dapat ditarik kesimpulan bahwa kriminalisasi sepertinya dimaknai: “sebagai tindakan aparat penegak hukum menetapkan seseorang melakukan perbuatan melawan hukum atau sebagai pelaku kejahatan atas pemaksaan interpretasi perundang-undangan. Dalam hal ini aparat penegak hukum dianggap seolah-olah melakukan tafsir sepihak atau tafsir subyektif atas perbuatan seorang, lalu kemudian diklasifikasikan sebagai pelaku tindak pidana.”
Lalu apa itu praktik profesi?
- Profesi juga sebagai suatu pekerjaan, yang didapatkan melalui tahapan pendidikan serta pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus.
- Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut.
- Selanjutnya Seseorang yang berkompeten di suatu profesi tertentu, disebut profesional.
- Pasal 1 (5), PP 51 tahun 2009 : Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sbg Apoteker dan telah Mengucapkan Sumpah Jabatan Apoteker
- Pasal 108 (2) : Ketentuan Pelaksanaan Praktek Kefarmasian pada (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Landasan praktik profesi apoteker
1. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Pasal 108 (1): Praktek Kefarmasian yang meliputi :
– Pembuatan – Pengendalian mutu sediaan,
– Pengamanan – Pengadaan,
– Penyimpanan – Pendistribusian obat,
– Pelayanan resep, – Pelayanan informasi obat
– Pengembangan Obat, bahan obat dan obat tradisional
Harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai Keahlian dan Kewenangan sesuai dg ketentuan peraturan dan perundang-undangan.
Pasal 108 (2): Ketentuan Pelaksanaan Praktek Kefarmasian pada (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
2. PP No 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian:
Pasal 1 (11): Fasilitas Pelayanan Farmasi;
– Apotek – Instalasi Farmasi Rumah Sakit
– Puskesmas – Klinik
– Toko Obat atau Praktek Bersama
Pasal 1 (13): Apotek adalah Sarana Pelayanan Kefarmasian Tempat dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker
3. Permenkes No 73 Th 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
4. PP No 51 th 2009
Pasal 1 (23) : Surat Izin Kerja (SIK) adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas Produksi dan fasilitas Distribusi atau Penyaluran.
Pasal 1 (20) : Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) adalah Bukti Tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yg telah di Registrasi.
Fakta dilapangan
- Siapa yang dikriminalisasi, dan berkaitan dengan apa? Apoteker; Praktik di Apotik.
- Apotik dan Apoteker menurut Peraturan perundang undangan?
- Siapa yang wajib melakukan Pengawasan dan Pembinaan kepada Apoteker dan Apotik?
Yang melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap praktik kefarmasian
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
Pasal 179 Pembinaan diarahkan untuk :
(1) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 diarahkan untuk:
a. memenuhi kebutuhan setiap orang dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan;
b. menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan upaya kesehatan;
c. memfasilitasi dan menyelenggarakan fasilitas kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan;
d. memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan perbekalan kesehatan, termasuk sediaan farmasi dan alat kesehatan serta makanan dan minuman;
e. memenuhi kebutuhan gizi masyarakat sesuai dengan standar dan persyaratan;
f. melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat;
b. pendayagunaan tenaga kesehatan;
c. pembiayaan.
Pasal 181 Pembinaan diatur dengan Peraturan Menteri
Pasal 182 Pengawasan
1. Menteri melakukan pengawasan terhadap masyarakat dan setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya di bidang kesehatan dan upaya kesehatan.
2. Menteri dalam melakukan pengawasan dapat memberikan izin terhadap setiap penyelenggaraan upaya kesehatan.
3. Menteri dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mendelegasikan kepada lembaga pemerintah non kementerian, kepala dinas di provinsi, dan kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
4. Menteri dalam melaksanakan pengawasan mengikutsertakan masyarakat.
Pasal 188 Pengawasan
(1)Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2)Menteri dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada lembaga pemerintah nonkementerian, kepala dinas provinsi, atau kabupaten/kota yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kesehatan.
(3)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.Peringatan secara tertulis.
b.Pencabutan izin sementara atau izin tetap.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pasal ini diatur oleh Menteri.
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN MENURUT PP NOMOR 51 THN 2009 TTG PEKERJAAN KEFARMASIAN
Pasal 58
Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
Pasal 59
(1)Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diarahkan untuk:
a.melindungi pasien dan masyarakat dalam hal pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian yang dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian;
b.mempertahankan dan meningkatkan mutu Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan c. memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat, dan Tenaga Kefarmasian.
MENURUT PERMENKES NO 35 TAHUN 2014 à PERMENKES NO 73 TH 2016 TTG STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTIK
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
- Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
Pasal 9
(1)Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini dilakukan oleh Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi masing-masing.
(2)Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan organisasi profesi.
Catatan : Tambahan Pembinaan dan Pengawaan dilakukan oleh BPOM dan atau Balai POM, Dinkes
SIARAN PERS *) KERJA SAMA BADAN POM DAN POLRI PERANGI KEJAHATAN DI BIDANG OBAT DAN MAKANAN
Ruang lingkup nota kesepahaman tersebut meliputi:
(1)tukar menukar data dan/atau informasi berkenaan dengan perkara atas dugaan tindak pidana di bidang obat dan makanan yang ditangani oleh PPNS Badan POM atau penyidik Polri
(2) koordinasi dan pengawasan obat dan makanan ilegal meliputi perencanaan kegiatan operasi bersama dalam hal penentuan sasaran, target operasi, pelibatan personil, sarana prasarana, anggaran dan cara bertindak serta pembahasan bersama atas dugaan tindak pidana obat dan makanan yang ditemukan dari hasil pengawasan,
(3) penegakan hukum meliputi pelanggaran di bidang obat dan makanan ilegal serta dugaan adanya tindak pidana di bidang obat dan makanan; serta
(4) peningkatan sumber daya manusia untuk meningkatkan kemampuan SDM agar tercapai profesionalisme di bidang tugas masing-masing.
Pedoman Kerja ini berlaku pada semua tingkatan serta wilayah kerja Polri dan Badan POM di seluruh Indonesia.
*)Sumber : www.pom.go.id
KAPAN PENYIDIK POLRI DAPAT MASUK KE APOTIK ?
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 186:
Apabila hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran hukum di bidang kesehatan, tenaga pengawas wajib melaporkan kepada penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 189:
(1)Selain penyidik polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan pemerintahan yang menyelenggarakan urusan di bidang kesehatan juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan.
PENGANTAR HUKUM PRAKTIS
- PP No 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 24 (b): Dalam melakukan pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien
“Semoga penjelasan diatas, dapat dijadikan landasan bagi sejawat Apoteker, yang merupakan hak dan kewajiban didalam menjalankan Praktik di Apotik dalam upaya membentengi dari adanya kriminalisasi”
Sumber :