GudangIlmuFarmasi – Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) mengeluarkan regulasi baru Nomor 4 Tahun 2018 terkait Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Kefarmasian.
Aturan ini dikeluarkan pada tanggal 14 Mei 2018 yang disahkan oleh Kepala BPOM, Penny Lukito. BPOM menimbang bahwa masyarakat perlu dilindungi dari risiko Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang tidak terjamin keamanan, khasiat dan mutu serta penyimpangan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Selain itu, untuk mencegah penyimpangan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian perlu dilakukan pengawasan.
Regulasi ini terdiri dari 7 bab dan 15 pasal dengan dilengkapi lampiran pedoman teknis :
- PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN OBAT DAN BAHAN OBAT DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
- PEDOMAN TEKNIS PENGELOLAAN NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI DI FASILITAS PELAYANAN KEFARMASIAN
Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2018 ini cocok untuk dijadikan pedoman bagi apoteker dalam melakukan pengelolaan obat dan bahan obat, narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi di fasilitas kesehatan.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:
1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
2. Bahan Obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar dan mutu sebagai bahan baku farmasi termasuk baku pembanding.
3. Narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika.
4. Psikotropika adalah obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
5. Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industri farmasi atau produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang mengandung ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/phenylpropanolamine, ergotamin, ergometrine, atau Potasium Permanganat.
6. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Puskesmas, dan Toko Obat.
7. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.
8. Instalasi Farmasi Rumah Sakit adalah bagian dari rumah sakit yang merupakan unit pelaksana fungsional yang diberikan kewenangan untuk menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit.
9. Instalasi Farmasi Klinik adalah bagian dari klinik atau balai pengobatan yang bertugas menyelenggarakan, mengoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian serta melaksanakan pembinaan teknis kefarmasian di klinik atau balai pengobatan.
10. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
11. Toko Obat/Pedagang Eceran Obat yang selanjutnya disebut Toko Obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat bebas dan obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
12. Praktik Mandiri Bidan yang selanjutnya disebut Bidan Praktik Mandiri adalah tempat pelaksanaan rangkaian kegiatan pelayanan kebidanan yang dilakukan oleh Bidan secara perorangan.
13. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
14. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker.
15. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian.
16. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIPTTK adalah surat izin praktik yang diberikan kepada tenaga teknis kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
17. Petugas adalah Pegawai di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang diberi tugas melakukan pengawasan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi berdasarkan surat perintah tugas.
18. Kepala Badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 2
Prekursor Farmasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan ini dalam bentuk produk jadi/Obat.
BAB II
PENGELOLAAN OBAT, BAHAN OBAT, NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA DAN PREKURSOR FARMASI
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 3
(1) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memiliki izin edar.
(2) Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi yang diedarkan harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.
(3) Persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan
Pasal 4
Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. pengadaan;
b. penerimaan;
c. penyimpanan;
d. penyerahan;
e. pengembalian;
f. pemusnahan; dan
g. pelaporan.
Pasal 5
(1) Pengelolaan Bahan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 hanya dapat dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit dan Puskesmas.
(2) Pengelolaan Bahan Obat oleh Apotek dan Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk keperluan peracikan (produksi sediaan secara terbatas).
(3) Pengelolaan Bahan Obat oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk keperluan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) dan untuk keperluan memproduksi obat.
Pasal 6
(1) Seluruh kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib berada di bawah tanggung jawab seorang Apoteker penanggung jawab.
(2) Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi, Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Apoteker lain dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian.
(3) Kegiatan pengelolaan Obat dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Toko Obat wajib berada di bawah tanggung jawab seorang Tenaga Teknis Kefarmasian penanggung jawab.
(4) Apoteker penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Apoteker lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki SIPA di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.
(5) Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib memiliki SIPTTK di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tersebut.
Pasal 7
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi di fasilitas pelayanan kefarmasian harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian.
Pasal 8
Kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib dilaksanakan sesuai dengan Pedoman Teknis Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 9
Dalam rangka pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pemantauan, pemberian bimbingan – 10 –
teknis, dan pembinaan terhadap fasilitas pelayanan kefarmasian.
BAB III
PENGAWASAN
Pasal 10
(1) Pengawasan terhadap Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dilaksanakan melalui pemeriksaan oleh Petugas.
(2) Petugas dalam melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berwenang untuk:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi untuk memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi;
b. membuka dan meneliti kemasan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi;
c. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau
d. mengambil gambar dan/atau foto seluruh atau sebagian fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan terhadap Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dapat mengikutsertakan petugas instansi lain yang terkait sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(4) Jika Petugas tidak dilengkapi dengan surat perintah dan tanda pengenal maka penanggung jawab fasilitas pelayanan kefarmasian dapat melakukan penolakan terhadap pemeriksaan.
Pasal 11
Dalam hal hasil pemeriksaan menunjukkan adanya dugaan atau patut diduga adanya pelanggaran pidana di bidang Obat dan Bahan Obat termasuk pidana di bidang Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi, dilakukan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
SANKSI
Pasal 12
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; atau
c. pencabutan izin.
(2) Sanksi administratif berupa sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa peringatan atau peringatan keras.
(3) Sanksi administratif berupa sanksi pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa rekomendasi kepada Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Organisasi Perangkat Daerah penerbit izin.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
(1) Pada saat Peraturan Badan mulai berlaku, bagi Puskesmas yang belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab maka penyelenggaraan pengelolaan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian atau tenaga kesehatan lain yang ditugaskan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
(2) Penyelenggaraan pengelolaan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah pembinaan dan pengawasan Apoteker yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Pada saat Peraturan Badan ini mulai berlaku maka Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1104) sepanjang mengatur mengenai pengelolaan Prekursor Farmasi di Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Toko Obat, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Selengkapnya :